Hingga
kini, belum ada kesepakatan di antara para ilmuwan mengenai letak
persis ibukota Kerajaan Sriwijaya. Ada yang menyebut di Palembang,
Jambi, Riau, Jawa, bahkan di Filipina dan Thailand. Anggapan bahwa
Palembang merupakan pusat Kerajaan Sriwijaya semata-mata merujuk pada
banyaknya artefak dan prasasti kuno peninggalan Sriwijaya
ditemukan di sekitar Palembang. Sedangkan sisa-sisa bangunan istana -
sebagai bukti yang paling otentik - belum pernah ditemukan hingga kini.
Mungkin terpendam di laut atau mungkin juga telah hancur-lebur tertimbun
bebatuan akibat bencana dahsyat jaman lewat.
Tak ada yang tahu!
Tersebutlah,
pada tahun 1823, seorang tentara Inggeris melaporkan telah menemukan
suatu Komplek Percandian seluas 12 km persegi di sisi Sungai Batanghari,
Propinsi Jambi. Melalui penelitian arkeologi lebih lanjut, dipastikan
bahwa di lokasi itu terdapat 110 bangunan candi yang
tersusun dalam 39 kelompok, masing-masing kelompok dihubungkan oleh
kanal buatan. Setiap kelompok memiliki bangunan utama dengan candi-candi
kecil di sekitarnya seperti jari-jari mengelilingi naff. Di antara
candi utama itu terdapat 7 candi yang terbesar yaitu Astano,
Tinggi, Gumpung, Kembar Batu, Gedong, Kedaton dan Koto Mahligai.
Khususnya pada Candi Gumpung, beberapa meter di sebelahnya terdapat
telaga pemandian para raja yang disebut Telago Rajo.
Jika dihubungkan dengan catatan perjalanan I-Tsing, seorang pendeta Budhis pengembara di zaman Dinasti Ming, yang menyatakan telah berkunjung ke Sriwijaya dan bermukim selama 6 bulan, di suatu tempat di tepi sungai, tanpa
bayang-bayang pada tengah hari, terletak antara Daratan Tiongkok dan
India, terdapat beribu-ribu pendeta menuntut ilmu….. Berdasar catatan
itu maka tempat dimaksud yang paling memungkinkan adalah
Candi Muarojambi, yang sekaligus kemungkinan adalah Kompleks Istana
Kerajaan Sriwijaya!
Namun
hypotesa itu pun mudah dipatahkan. Mengingat candi adalah bangunan
peribadatan, tanpa atap dan tanpa kamar tidur, tak mungkin dijadikan
istana. Tak mungkinlah Raja-raja Sriwijaya yang terkenal kaya-raya
beserta permaisuri yang cantik-cantik dan puteri-puteri yang
bahenol-bahenol itu tidur beratapkan langit dan berselimut embun.
Mestinya mereka memiliki kediaman resmi yang pantas, entah dimana!
Biarlah
para ilmuwan yang akan mengurai benang-benang misteri itu. Atau ia akan
terpendam dalam keabadian sejarah, kita sama-sama menunggu. Untuk saat
ini kewajiban kita adalah menghargai setiap peninggalan nenekmoyang,
sambil merenungkan kebesarannya dan berusaha menyerupainya. Bahwa di
Nusantara ini, pernah berdiri kerajaan maritim terbesar di dunia, yang
kedigdayaannya menggetarkan peradaban manusia, dari Barat sampai ke
Timur.
Candi
Muarojambi telah ditetapkan sebagai situs purbakala dunia oleh Unesco,
namun rahasia di baliknya belum banyak tersingkap hingga kini. Candi itu
pada umumnya masih terbengkalai, beberapa bangunan candi masih
berserakan tanpa pemugaran. Perlu diketahui pula, sejak dahulu kala
lokasi itu telah menjadi lahan garapan penduduk. Pohon duku dan durian
milik penduduk ada dimana-mana, bahkan di tengah-tengah candi. Begitu
pula arca-arca telah banyak yang hilang atau rusak. Sedangkan bejana
perunggu yang diduga sebagai tempat air suci untuk persembahan ditemukan
sekitar 1990-an lalu, setelah sekian lama digunakan sebagai tempat
penampungan getah karet oleh penduduk.
Candi Muarojambi terletak 40 kilometer sebelah Timur Laut Kota Jambi. Dengan diresmikannya Jembatan Batanghari-II, candi itu dapat dicapai dalam waktu 20 menit perjalanan darat dari pusat kota, dengan aneka angkutan umum yang tersedia.
Jika
berada di sana pada saat musim duku atau durian, Anda dapat menikmati
terpaan kisah masa lalu sambil menikmati durian. Tapi jangan lupa,
kemungkinan Anda duduk di atas tumpukan tanah yang di bawahnya mungkin
adalah Singgasana Maharaja Sriwijaya, Wangsa Syailendra yang termasyhur.